Jumat, 30 April 2010

Mengenal Rasulullah SAW

Pengertian Rasul, Nabi serta Risalah

Rasul adalah lelaki pilihan dan yang diutus oleh Allah dengan risalah kepada manusia. Rasul merupakan yang terbaik diantara manusia lainnya sehingga apa yang dibawa, dikatakan dan dilakukan adalah sesutu yang terpilih dan mulia dibandingkan dengan manusia lain.

Nabi adalah lelaki pilihan yang diutus oleh Allah mendapatkan wahyu berupa syariat namun tidak harus disampaikan. Nabi diutus untuk mengukuhkan syariat sebelumya.

Risalah adalah sesuatu yang diwahyukan Allah SWT berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Ciri-ciri Rasul:
a. Laki-laki yang berasal dari manusia, QS. Al Kahfi (18) : 110
b. Ma’sum terjaga dari kesalahan, QS. An Najm (53) : 2-5
c. Menjadi suri teladan, QS. Al Ahzab (33) : 21
d. Memiliki akhlaq yang mulia; shidiq, tabligh, amanah dan fathonah. QS. Al Qalam (18) : 4
e. Memiliki mu’jizat, QS. Al Qomar (54) : 1
f. Tersampaikan berita tentang kedatangannya, QS. Ash Shaff (61) : 6
g. Adanya berita kenabian, QS. Al Furqan (25) : 30
h. Hasil perbuatan seperti kader (sahabat), lingkungan dan tatanan kehidupan dan peradaban Islami, QS. Al Fath (48) : 29

Tugas Para Rasul

A. Umum
1. Menyampaikan risalah, QS Al Maidah (5) : 67
2. Memperkenalkan Al Khalik, QS. Ali Imran (3) : 190
3. Menjelaskan cara beribadah,
Hadits : “Shalatlah kamu seperti halnya aku shalat”. (HR. Bukhori, Muslim)
4. Menjelaskan pedoman hidup,
Hadits : “Rasulullah SAW bersabda: “ Barangsiapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan untuknya, Dia akan pandaikan dalam hal agama”. (HR. Bukhari, Muslim)
5. Mendidik
Berdasarkan Sirah Nabawiyah, menunjukkan bagaimana para sahabat belajar di rumah Arqom bin Abi Arqom.

B. Khusus
1. Menegakkan din Allah, QS. Asy Syuura’ (42) : 13-15
2. Menegakkan khilafah, QS. An Nuur (24) : 55
3. Membina kader, QS. Ali Imran (3) : 104
4. Membuat konsep panduan da’wah, QS. Ali Imran (3) : 159
5. Melaksanakan panduan da’wah, QS. Al Baqarah (2) : 208

Kamis, 29 April 2010

Rasulullah SAW Teladan Kita

Sebagai nabi penutup, Rasulullah SAW memiliki beberapa sifat-sifat dasar yang agung diantaranya:

1. Manusia (Al Basyariyah)

Rasulullah merupakan manusia biasa seperti kita semua. Perbedaannya Allah SWT memberikan wahyu untuk disampaikan kepada orang lain. Dengan keyakinan ini sebenarnya mengantarkan kita bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menolak perintah Rasulullah SAW. Tidak ada alasan tidak mampu apalagi tidak mungkin, karena Rasulullah juga memiliki tanggungan seperti layaknya manusia biasa seperti bekerja, memiliki istri, anak bahkan beliau mendapat tambahan amanah yang lebih berat yaitu mendidik manusia dan memimpin mereka. (QS. Ibrahim (14) : 11)

2. Terpelihara dari Kesalahan (Al ‘Ishmah)

Oleh karena Rasulullah SAW adalah manusi pilihan maka beliau dilebihkan oleh Allah SWT terpelihara dari kesalahan. Hal ini perlu karena yang disampaikannya adalah amanah dari Allah sehingga Allah perlu memelihara aturan dan firman-Nya dari kesalahan. (QS. Al Maidah (5) : 67)

3. Benar (As Shidq)

Orang yang membawa kebenaran tentunya ia sendiri harus memiliki sifat shidq sehingga apa yang disampaikan dapat diterima oleh manusia. Selain itu karena sifat shidq, Rasulullah tidak berbicara mengikuti hawa nafsunya. Beliau berkata yang benar dan bermanfaat saja. (QS. Al Najm (53) : 3-4).

4. Cerdas (Al Fathonah)

Kecerdasan Rasulullah dapat dilihat dari jawaban atas pertanyaan para sahabat maupun orang lain, cara Rasulullah dapat menyelesaikan masalah, ataupun dalam menyusun strategi da’wah. (QS. Al Fath (48) : 27)

5. Amanah (Al Amanah)

Amanah secara umum berarti bertanggung jawab terhadap apa yang dibawanya, menepati janji, melaksanakan perintah, menunaikan keadilan, memberikan hukum yang sesuai dan dapat menjalankan sesuatu yang telah disepakati. (QS. An Nisaa’ (4) : 58)

6. Menyampaikan (At Tabligh)

Kewajiban Rasulullah SAW adalah menyampaikan perintah Allah kepada manusia, kemudian manusia berkewajiban pula menyampaikan risalah ini kepada siapa saja yang mau menerimanya. (QS. Al Maidah (5) : 67)

7. Komitmen (Al Iltizam)

Rasulullah dan para sahabat selalu mencontohkan sikap untuk selalu komit terhadap Islam, walaupun diterpa cobaan yang bertubi-tubi. Dengan adanya Iltizam inilah maka nilai-nilai Islam akan selalu terpelihara. (QS. Al Israa’ (17) : 74). Tanpa Iltizam maka godaan syaithan dan gangguan orang kafir akan mudah menggoncang kita. Kita jadi mudah tergelincir karena kita tidak punya benteng iltizam.

Tokoh Islam - Thalhah Bin Ubaidillah

Thalhah Bin Ubaidillah

Syahid Yang Masih Hidup

I. Pendahuluan

Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa.

Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah seorang dari delapan orang yang pertama masuk Islam, dimana saat itu satu orang bernilai seribu orang.

Sejak awal keislamannya hingga akhir hidupnya ia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah masuk Islam melalui anak pamannya, Abu Bakar Assiddiq ra.

II. Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat

Dengan disertai Abu Bakar Assiddiq, Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW. Setelah berhasil berjumpa dengan Rasulullah SAW, Thalhah mengungkapkan niatnya hendak ikut memeluk Dinul haq, Islam. Maka Rasulullah SAW menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat.

Setelah menyatakan keislamannya di hadapan Muhammad SAW. Thalhah dan Abu Bakar ra. pun pergi. Tapi di tengah jalan mereka dicegat oleh Nofal bin Khuwalid yang dikenal dengan “Singa Quraisy”, yang terkenal kejam dan bengis. Nofal kemudian memanggil gerombolannya untuk menangkap mereka. Ternyata Thalhah dan Abu Bakar tidak hanya ditangkap saja, mereka diikat dalam satu tambang. Semua itu dilakukan Nofal sebagai siksaan atas keislaman Thalhah.

Oleh karena itulah Thalhah dan Abu Bakar ra. dijuluki “Alqori-nain” atau “dua serangkai”. Dan sesudah masuk Islam Thalhah selalu mendampingi Rasulullah SAW.

Riwayat hidup Thalhah merupakan hembusan angin yang harum dalam rangkaian sejarah yang agung penuh keteladanan. Oleh karena itu alangkah patutnya bila kita menerapkan sejarah lama untuk masa kini dan merintis jalan yang pernah ditempuh pendahulu kita serta beriman sebagaimana mereka beriman, jujur, ikhlas dan setia seperti yang mereka lakukan dan berjihad sebagaimana mereka berjihad.

Nasib agama kita akan membaik bila kita menempuhnya dengan cara yang ditempuh para pendahulu kita, sebagaimana yang Allah firmankan: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qoof : 37)

Thalhah adalah seorang lelaki yang gagah berani, tidak takut menghadapi kesulitan, kesakitan dan segala macam ujian lainnya. Ia orang yang kokoh dalam mempertahankan pendirian meskipun ketika di jaman jahiliyah.

Ketika pergi ke Syam ia singgah sebentar di Bushra. Di situ ia mendengar ada seorang pastur yang sedang mencari orang berasal dari Mekah. Mengetahui hal itu maka Thalhah segera mendekati pastur itu. Ternyata pastur itu mempertanyakan seorang lelaki bernama Ahmad bin Abdillah bin Abdul Muthalib di Mekah, karena kini sudah saatnya dia muncul.
Setelah pulang dia bertemu dengan Abu Bakar dan masuk Islam sesudah Utsman bin Affan.

Sewaktu perang Badar, Thalhah tidak ikut bertempur di medan laga karena pada waktu itu ia diberi tugas khusus oleh Rasulullah SAW sebagai pengintai kafilah Quraisy yang tengah menuju daerah Alhaura.

III. Perang Uhud

Bila diingatkan tentang perang Uhud, Abu Bakar ra. selalu teringat pada Thalhah. Pada waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: “Lihatlah saudaramu ini.” Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari tujuh puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus.

Bagi bangsa Quraisy perang Uhud merupakan tindak balas atas kekalahannya sewaktu perang Badar. Pada awal pertempuran Uhud kaum muslimin telah memperoleh kemenangan. Pasukan kafir Quraisy kocar-kacir dan mundur dari medan perang. Tapi ketika kaum muslimin melihat mereka mundur, para pemanah yang bertugas di bukit menutup jalur belakang segera berlari turun. Mereka kemudian mengumpulkan barang-barang peninggalan musuh. Mereka mengira pertempuran telah berakhir.

Ternyata pasukan musuh menerobos melalui jalur belakang. Pasukan kaum muslimin benar-benar telah lengah sehingga mereka dapat dipukul dari dua arah, maka mendadak mereka menjadi panik dan tak tahu harus berbuat apa. Peristiwa ini akibat dari kesalahan pasukan pemanah yang ditugaskan oleh Rasulullah SAW untuk melindungi pasukan muslimin dari serangan musuh yang berasal dari belakang.

Pertempuran sengitpun terjadilah. Kaum musyrikin benar-benar ingin membalas dendam. Mereka masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang Badar. Mereka berniat akan membunuh dan memotong-motongnya dengan sadis.

Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW. Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat mereka terus mencari Rasulullah SAW. Mereka amat gemas, benci dan penasaran karena sewaktu hijrah ke Madinah, mereka tidak berhasil menemukan Muhammad. Kini, pada saat perang Uhud, mereka dengan dendam membara terus mencarinya. Tetapi kaum muslimin melindungi Rasulullah SAW. Mereka melindungi baginda Rasulullah SAW dengan tubuhnya dan dengan segala daya. Mereka rela terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah.

Tombak dan panah menghujam mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati-hati mereka berucap dengan teguh, “Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau ya Rasulullah.”

Salah satu diantara mujahid yang melindungi nabi SAW dengan tulus ikhlas adalah Thalhah. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah yang tubuhnya telah berdarah. Dipeluknya tubuh baginda dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada di tangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya seperti laron yang tidak mempedulikan maut.

Alhamdulillah, Rasulullah selamat. Peristiwa ini merupakan pelajaran dan pengalaman pahit yang tidak terlupakan.

Itulah sekilas uraian tentang keteguhan dan pengorbanan Thalhah melindungi Rasul-Nya. Thalhah memang merupakan seorang pahlawan dalam barisan tentara perang Uhud. Ia siap berkorban membela Nabi SAW. Ia memang patut ditempatkan pada barisan depan karena Allah telah menganugerahkan kepada dirinya tubuh yang kuat dan kekar, keimanan yang teguh dan keikhlasan pada agama Allah.

Akhirnya kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang. Mereka mengira Rasulullah SAW telah tewas.

Alhamdulillah, Rasulullah SAW selamat walaupun dalam keadaan menderita luka-luka. Baginda dipapah oleh Thalhah menaiki bikit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah seraya berkata, “Aku tebus engkau ya Rasulullah dengan ayah ibuku.”

Nabi SAW tersenyum dan berkata, “Engkau adalah Thalhah kebajikan.” Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda, “Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh….”. Yang dimaksud Nabi SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan “Burung Elang dari Uhud”.

IV. Ketika Thalhah Hijrah

Pada waktu hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW pergi dengan Abu Bakar ra., sedangkan Ruqayah, putri Rasulullah SAW pergi bersama suaminya, Utsman ra. Adapun Zainab, putri sulung Rasulullah SAW tidak hijrah karena ia menetap di Mekah bersama suaminya Abul Ash ibnu Arrabi yang masih kafir. Adapun Ummu Khaltum dan Fatimah tengah menunggu orang yang akan menemani dan mengawal mereka sehingga bisa selamat sampai di kota Madinah. Dan Thalhah mendapat kehormatan untuk menyertai mereka.

Pengawalan khalifah diserahkan kepada Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid. Kafilah berangkat ke Madinah. Mereka yang ikut serta dalam rombongan itu antara lain Fatimah, Ummu Khaltum dan istri Rasulullah SAW ummul mukmu\inin yaitu Saudah binti Zum’ah dan Ummu Aiman ra.

V. Thalhah yang Dermawan

Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi daratan dan lembah? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah salah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su’da binti Auf.

Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya, dan Thalhah menjawab, “Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan?” Maka istrinya berkata, “Uang yang ada di tanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir miskin.” Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada di tangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeser pun.

Assaib bin Zaid pun berkata tentang Thalhah. Katanya, “Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya.”

Jabir bin Abdullah pun bertutur, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dati Thalhah walaupun tanpa diminta.”

Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki “Thalhah si dermawan”, “Thalhah si pengalir harta”, “Thalhah kebaikan dan kebajikan”.

VI. Wafatnya Thalhah

Sewaktu terjadi pertempuran “Al Jamal”, Thalhah bertemu dengan Ali ra. Ali memperingatkannya agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam, ia wafat.

Thalhah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra.

Rasulullah SAW pernah berkata pada para sahabat ra. “Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan di atas bumi maka lihatlah Thalhah.”

Hal ini juga dikatakan Allah dalam firman-Nya: “Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur, dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya.” (QS. Al Ahzab : 23)

Tokoh Islam - Abdurrahman bin Auf

Abdurrahman bin Auf

Pedagang Besar Yang Sukses

I. Orang Ketujuh dari Kesepuluh Orang yang Dikabari Masuk Surga

Abdurrahamn bin Auf adalah kawan akrab Abu Bakar Assidiq ra. oleh karena itu ketika Abu Bakar menawarkan Islam kepadanya, Abdurrahman langsung menerimanya.

Dalam sejarah Islam, ia dicatat sebagai orang ke delapan yang pertama masuk Islam dan orang kelima yang diislamkan Abu Bakar ra.

Perang Uhud telah memberikan bekas lebih dari dua puluh luka dalam tubuhnya dan salah satu lukanya menyebabkan dia pincang. Perang Uhud juga menyebabkan beberapa giginya rontok sehingga mempengaruhi ucapan dan tutur katanya.
Dalam lubuk hatinya telah terhujam hijrah dan jihadnya fisabilillah semata-mata untuk mengibarkan panji Islam dan untuk meninggikan kejayaannya.

Abdurrahman telah mengenal jalan ke surga. Oleh karena itu ia ingin memperolehnya dengan pemberian dan pengorbanan. Pemberian dan pengorbanan dengan seluruh harta dan jiwa raganya. Pengorbanan dengan jiwa raga adalah puncak dari segala kemurahan hati.

Abdurrahman bin Auf menyatakan keislamnnya sebelum Rasulullah SAW menetapkan rumah Al Arqam bin Abi Al Arqam sebagai pusat da’wah.

II. Seorang Pedagang Ilahi Rahmani

Abdurrahman sangat mahir berdagang. Ia menguasai perekonomian dan keuangan. Lagipula hidupnya selalu disertai dengan kemujuran taufik dan barokah.

Dia pernah berkata, “Anda akan melihat aku, tiap saat aku mengangkat batu aku berharap menemukan di bawahnya emas atau perak.”

Tetapi kegiatannya dalam perdagangan tidak menghambat pelaksanaan aqidahnya yang telah diyakini dan diperjuangkannya, selalu siap menanggung resiko dan akibatnya.

III. Berhijrah Kepada Allah

Setelah gangguan dan siksaan Quraisy mengganas, Abdurrahman pergi hijrah ke Habasyah. Sekembalinya dari Habasyah ia mendapat gangguan dan gangguan itu semakin memuncak tatkala ia hijrah kembali ke Habasyah untuk kedua kalinya. Hijrahnya ini ia lakukan karena keadaannya sudah sangat tertindas.

Bukankah caranya melarikan diri itu membuktikan kelemahan jiwanya? Ya, memang benar, tapi dia melarikan diri untuk mempertahankan dan menyelamatkan agamanya. Dia melarikan kepada Allah Robbul ‘Alamin. Dari cengkeraman manusia-manusia yang sesat. Itu adalah hak kaum lemah di muka bumi untuk menyelamatkan agama mereka sedapat mungkin agar mereka dan da’wahnya tidak dibantai dalam buaian.

Bumi Allah itu sangat luas dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rejeki yang banyak.

Abdurrahman bin Auf adalah salah seorang pilar da’wah Islamiyah dan salah seorang yang dibina dan dipersiapkan Nabi SAW untuk membawa panji dan penyebaran agama Islam. Setelah hijrah ke Madinah seluruh harta kekayaan dan perdagangannya disita dan dirampas Quraisy, penguasa Mekah.

Begitu pula denga harta kekayaan Shuhaib Arrumi. Hartanya disita sebagai imbalan dan syarat diijinkannya berhijrah. Ketika mendengar peristiwa tersebut Nabi SAW bersabda: “Demi Allah Shuhaib beruntung.”

IV. Abdurrahman Memulai yang Lebih Tinggi Dari Kekayaan Dunia

Di kota Madinah, kaum Muhajirin dan Anshor hidup rukun sekali. Dukungan serta bantuan dari kaum Anshor sangat besar sehingga tidak pernah ada pertolongan yang sebesar itu dalam sejarah sebelumnya.

Kaum Anshor mengutamakan kaum Muhajirin di atas kepentingan diri mereka sendiri walaupun mereka dalam kesusahan dan kesempitan. Tapi kaum Muhajirin tidak ingin selalu menjadi beban orang lain karena Islam membina umat ke arah hidup mulia, terhormat dan mendorong orang bekerja dan berusaha. Kaum Anshor adalah petani, sedangkan kaum Muhajirin pada umumnya adalah pedagang.

Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor. Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu Arrabil Alausari, orang yang kaya raya.

Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Hartaku seluruhnya separuh untuk kamu dan aku akan berusaha mengawinkan kamu.”

Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan saudaramu. Tunjukkan saja dimana tempat pasar perdagangan Rasulullah SAW di Mekah?” Sa’ad menjawab, “Oh baiklah, ada, yakni pasar bani Qainuqaa.”

Abdurrahman memulai usahanya dengan berdagang sagu dan minyak samin. Tapi tidak lama kemudian dia sudah dapat mengumpulkan sedikit uang dari hasil keuntungan dagangnya. Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah menikah?”
Abdurrahman menjawab, “Benar, ya Rasulullah.”
Nabi SAW bertanya, “Dengan siapa?”
Abdurrahman menjawab, “Dengan wanita dari Anshor.”
Nabi SAW bertanya, “Berapa mahar yang kamu berikan?”
Abdurrahman menjawab, “Sebutir emas” (masudnya emas seperti dan seberat sebutir kurma).
Nabi menyuruhnya, “Adakan walimah meskipun dengan seekor domba.”
Lalu Abdurrahman mengundang kaum Muhajirin dan Anshor dalam suatu walimah sebagai pengumuman tentang pernikahannya.

Rasulullah SAW menghendaki kaum muslimin meneladani perjuangan, usaha dan kerja Abdurrahman bin Auf yang telah berhasil merintis jalan ke arah hidup mulia dan terhormat. Tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW: “Tidak ada sesuatu makanan yang baik melebihi apa yang dihasilkan dari usahanya sendiri. Nabi Allah Daud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)

“Seseorang yang mencari kayu lalu memanggulnya di atas pundaknya lebih baik baginya dari mengemis yang kadangkala diberi atau ditolak.” (H.R. Bukhari)

Nabi SAW ditanya, “Penghasilan apa yang paling baik?” Maka beliau menjawab, “Apa yang dihasilkan orang dari pekerjaan tangannya dan semua jual beli mabrur.” (HR. Bukhari dan Al Hakim)

Dengan anjuran dan bimbingan Nabi SAW, kaum muslimin bangkit. Di antara mereka ada yang menjadi petani, pedagang, pandai besi, penjahit, buruh pekerja dan lain-lain dan tidak ada seorang pun yang menganggur.

Kegiatan dan gerakan itu diikuti oleh kaum wanita. Seorang wanita datang kepada Nabi SAW sambil membawa sehelai mantel untuk dihadiahkan kepada beliau, seraya berkata, “Ya Rasulullah, mantel ini aku tenun sendiri dengan tanganku, “Rasulullah SAW menerima hadiahnya itu.” (HR. Bukhari)

Abdurrahman bin Auf sukses dalam perdagangannya dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi SAW. Ia selalu menghiasi dirinya dengan adab sopan Islami sehingga Allah memberkahinya dan membimbing langkah-langkahnya.

Setelah menjadi orang kaya raya, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Hai Abdurrahman bin Auf, kamu sekarang menjadi orang kaya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak (mengingsur). Pinjamkanlah hartamu kepada Allah agar lancar kedua kakimu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Pesan-pesan Rasulullah SAW tersebut amat menyentuh hatinya, oleh karena itu sejak saat itu dia banyak beramal sodaqoh dan Allah melipat gandakan kekayaannya.

Dia bersaing dengan Utsman bin Affan dalam membiayai pasukan Islam yakni dengan menyerahkan separuh dari kekayaannya kepada Rasulullah SAW.

Ketika menerimanya Rasulullah SAW berdo’a: “Semoga Allah memberkahimu dalam apa yang kamu tahan dan kamu berikan.”

Kemudian turun ayat firma Allah SWT:

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dengan menyakiti (perasaan si penerima) mereka memperoleh pahala di sisi Robb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”

Ketika telah dekat dengan ajalnya, Abdurrahman bin Auf berwasiat agar setiap kaum muslimin peserta perang Badar yang masih hidup, diberi empat ratus dinar dari harta warisannya, dan ternyata peserta perang Badar yang masih hidup berjumlah seratus orang, termasuk Utsman ra. dan Ali ra.

Dia juga berwasiat agar sejumlah besar uangnya diberikan kepada ummahatul mukminin (janda-janda Rasulullah SAW), sehingga Aisyah berdo’a:

“Semoga Allah memberi minum kepadanya air dari mata air Salsabil di surga.”

Dari Ali ra. berkata sesudah Abdurrahman bin Auf wafat. Katanya, “Pergilah wahai ibnu Auf. Kamu telah memperoleh jernihnya dan telah meninggalkan kepalsuannya (keburukannya).” (HR. Al Hakim)

Ini berarti Abdurrahman bin Auf telah memperoleh pahala dari harta yang diinfakkannya, dan ia meninggalkan akibat buruk dari harta yang telah ditinggalkannya.

Ketika wafat jenazah Abdurrahman bin Auf disholatkan oleh Utsman ra. dan diusung oleh Sa’ad bin Abi Waqqash ra. ia wafat dalam usia 75 tahun dan dimakamkan di pemakaman Albaqii.

Ma’rifatul Rasul

Makna Risalah dan Rasul

Risalah: Sesuatu yang diwahyukan A11ah SWT berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Rasul: Seorang laki-laki (21:7) yang diberi wahyu oleh Allah SWT yang berkewajiban untuk melaksanakannya dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia.

Pentingnya iman kepada Rasul
• Iman kepada para rasul adalah salah satu Rukun Iman. Seseorang tidak dianggap muslim dan mukmin kecuali ia beriman bahwa Allah mengutus para rasul yang menginterprestasikan hakekat yang sebenarnya dari agama Islam, yaitu Tauhidullah .
• Juga tidak dianggap beriman atau muslim kecuali ia beriman kepada seluruh rasul, dan tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya. (Al-Asyqor:56)

Tugas para rasul
1. Menyampaikan (tablig) [5:67, 33:39]. Yang disampaikan berupa:
• Ma’rifatullah [6:102] (Mengenal hakikat Allah) .
• Tauhidullah [21:25] [Mengesakan Allah] .
• Basyir wa nadzir [6:48] (Memberi kabar gembira dan peringatan)
2. Mendidik dan Membimbing [62:2]

Sifat-sifat para rasul
1. Mereka adalah manusia (17:93-94,8:110]
2. Ma’shum [terjaga dari kesalahan] [3:161, 53:1-4]
3. Sebagai suri teladan [33:2l, 6:89-90]

Bersuci / Thaharoh

I. Hukum dan Penjelasan Bersuci

Bersuci adalah bagian terpenting dari kehidupan seorang muslim. Bersuci berkaitan erat dalam hal sah atau tidaknya ibadah mahdoh (wajib) yang kita lakukan. Sebagai contoh sholat, sebelum mengerjakan sholat kita diwajibkan berwudhu terlebih dahulu. Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Kesucian itu penutup iman”. (HR. Muslim).

Secara hukum, berdasarkan Al Qur’an dan hadits bersuci adalah wajib, QS. Al Mudatsir (74) : 4, Al baqarah (2) : 222. Dalam shalat misalnya, shalat tidak akan dianggap sah apabila belum melakukan wudhu.

Suci (thaharah) itu terdiri dari dua macam, yaitu : suci lahir dan suci batin. Secara definitif yang dimaksud dengan suci batin ialah suci dari dosa dan maksiat. Untuk bersuci secara batin melalui bertobat dengan tobat nashuha (tobat yang sungguh-sungguh) dan membersihkan diri dari penyakit hati seperti syirik, sombong, hasad, dengki dan lain-lain. Semua itu dilakukan dengan keikhlasan dan berniat hanya mencari ridha Allah SWT.

Bersuci secara lahir maksudnya adalah bersuci dari hadats. Suci dari hadats artinya menghilangkan najis-najis dengan menggunakan air yang suci guna membersihkan pakaian, badan dan tempat ibadah yang dipakai untuk shalat.

II. Alat yang Digunakan untuk Bersuci

Alat yang digunakan untuk bersuci ada bermacam-macam, yaitu:

1. Air Mutlak

a. Air hujan
b. Air laut
“Air laut itu suci dan mensucikan, dimana bangkai hewan yang berada di dalamnya pun halal.” (HR. Al Khamsah)
c. Air telaga
“Bahwa Rasulullah pernah meminta diambilkan satu wadah air zamzam, lalu beliau meminum sebagian dari air tersebut dan berwudhu dengannya.” (HR. Ahmad)

2. Air Musta’mal
“Bahwa Rasulullah membasuh kepala dengan sisa air yang terdapat pada tangannya.” (HR. Abu Dawud)

3. Air yang bercampur dengan barang yang suci

“Rasulullah pernah masuk ke rumah kami ketika putrinya, Zainab, meninggal dunia. Lalu beliau berkata: Mandikanlah ia tiga atu lima kali atau lebih, jika menurutmu lebih dari itu adalah lebih baik, dengan air atau serta daun bidara. Pada basuhan yang terakhir campurkan dengan kapur barus. Jika telah selesai, maka beritahukan kepadaku. Setelah selesai memandikan jenazah Zainab, kami memberitahukan kepada Rasulullah, kemudian beliau memberikan kain kepada kami seraya berkata: “Pakaikanlah kain ini pada tubuhnya.” (HR. Mutafaq’alaih)

4. Air yang jumlahnya dua kullah

“Apabila jumlah air itu mencapai dua kullah, maka air itu tidak mengandung kotoran (tidak najis).” (HR. Khamsah)

5. Debu yang bersih yang ada di atas tanah, pasir, batu-batu kerikil atau pasir laut. QS. An Nisa (4) : 43
Rasulullah SAW bersabda: “Tanah itu telah diciptakan bagiku tempat sujud dan mensucikan” (HR. Ahmad diriwayatkan di dalam shahihain)

III. Etika Buang Air

Diantara bukti perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian serta penghormatan yang diberikan Allah kepada manusia adalah dengan mengharuskan membersihkan diri ketika buang air sehingga tidak ada najis yang menempel pada tubuh, termasuk pakaiannya.

1. Hal-hal yang Patut Dilakukan Sebelum Buang Air

a. Mencari tempat yang kosong dan jauh dari penglihatan manusia

Hadits, “Apabila Nabi SAW hendak buang air besar, beliau pergi sehingga tidak seorangpun yang tahu.” (HR. Abu Dawud)

b. Dilarang membawa sesuatu yang terdapat asma Allah SWT. Hal ini berdasarkan hadits, “Nabi Muhammad SAW memakai cincin yang tertulis Muhammad Rasulullah. Beliau selalu menanggalkan cincin tersebut bila mau buang air.” (HR. Tirmidzi)

c. Bila masuk ke kamar mandi (WC) hendaknya mendahulukan kaki kiri seraya berdo’a, “Bismillaahi allaahumma innii a’uudzubika minal khubutsi wal khabaaits.” (HR. Bukhari). Dilarang mengangkat pakaian penutup aurat terlalu tinggi (di tempat-tempat yang memungkinkan orang lain untuk melihatnya.

d. Dilarang menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang air. Hal ini berdasarkan hadits, “Janganlah kalian menghadap kiblat atau membelakanginya ketika melakukan buang air besar atau kecil.”

e. Dilarang buang air besar dan kecil di tempat berteduh, tempat lalu lalang, sumber air orang banyak dan di bawah pohon yang berbuah. Hadits riwayat Hakim, “Jauhilah tiga perkara yang tercela: buang air besar di sumber-sumber air, di tengah jalan dan di tempat berteduh.”

f. Dilarang berbicara ketika sedang buang air besar, Sabda Rasul SAW, “Jika dua orang sedang buang air besar, maka keduanya saling membelakangi keduanya, juga dilarang berbicara, karena sesungguhnya Allah sangat membenci hal itu”. (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)

2. Cara Bersuci (Istinja’)

a. Bersuci sebanyak tiga kali atau ganjil. Hal ini berdasarkan hadits, “Bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk menggunakan tiga batu dan melarang menggunakan kotoran binatang dan potongan tulang.” (Abu Hurairah)

b. Dilarang menggunakan tangan kanan. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah salah seorang diantara kamu membersihkan kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air.” (HR Mutafaq’Alaih)

c. Lebih baik menggunakan air bila ada. Aisyah berkata, “Perintahkan suami-suami kalian untuk bersuci dengan air sesungguhnya Rasulullah SAW melakukannya.” (HR. Tirmidzi)

3. Hal-hal yang Layak Dilakukan Setelah Buang Air

Ketika keluar mendahulukan kaki kanan seraya berdo’a. “Ghufraanaka” (aku mengharap ampunan Engkau) atau berdo’a “Alhamdulillaahiladzii adzhaba ‘annil ‘adzaa wa ‘aafani”. (segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan penyakit dariku dan yang telah menyehatkanku).

IV. Etika Mandi

Seorang muslim diajarkan tata cara mengenai menjaga kebersihan badan yaitu dengan cara mandi. Islam mengenalkan istilah mandi wajib bagi umatnya. Bagi seorang muslim yang sudah memasuki masa aqil baligh ia harus sudah diperkenalkan apa yang dimaksud mandi wajib karena hal ini akan menjadi bagian dari perkembangan hidupnya.

Mandi itu diwajibkan apabila memenuhi salah satu dari kelima kriteria di bawah ini:

1. Keluar mani disertai syahwat, baik diwaktu tidur maupun kondisi terjaga baik laki-laki maupun perempuan
2. Selesai haid dan nifas bagi perempuan
3. Junub (hubungan suami istri)
4. Meninggal, mayat wajib dimandikan
5. Orang kafir bila masuk Islam

Dibawah ini tata cara mandi

1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mandi

a. Fardhu Mandi

- Niat. Berniat untuk menghilangkan hadats besar dan kecil.
- Membasuh seluruh badan dengan menggosok hal-hal yang mungkin digosok
- Mengguyur air ke tempat yang tidak bisa digosok sampai bisa diperkirakan air telah merata ke seluruh tubuh
- Menyela jari-jemari dan rambut, serta tempat-tempat yang biasanya tidak terairi oleh air seperti pusar, dll.

b. Sunnah Mandi

- Membaca Basmallah
- Sebelum mandi, membersihkan kedua telapak tangan
- Terlebih dahulu menghilangkan kotoran
- Mendahulukan anggota badan wudhu sebelum membersihkan badan
- Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, lalu membersihkan daun telinga

c. Makruh Mandi

- Menghambur-hamburkan air
- Mandi di tempat yang terkena najis dikhawatirkan terkena najis
- Mandi dengan menggunakan air sisa yang digunakan oleh perempuan untuk bersuci
- Mandi di tempat terbuka tanpa penutup baik dinding ataupun sejenisnya
- Mandi di air yang diam, tidak mengalir. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian yang sedang junub mandi di air yang diam.” (HR. Muslim)

2. Tata Cara Mandi Wajib

Hadits dari Aisyah r.a., “Rasulullah SAW bila hendak mandi junub (mandi wajib), beliau memulai dengan membersihkan kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana, kemudian beliau membersihkan farjinya, lalu berwudhu seperti wudhu akan shalat, lalu membersihkan rambutnya dengan air, kemudian mengguyurkan kepalanya tiga kali, baru mengguyurkan air ke seluruh tubuh.” (HR. Tirmidzi)

V. Penutup

Inilah salah satu dari nilai-nilai Islam dalam menjaga dan membersihkan diri. Dalam keadaan darurat bila tidak ada air, kita diperkenankan menggunakan debu untuk tayamum.

Hukum Dalam Islam

Hukum Dalam Islam

I. Memahami Hukum Syariah

Memahami Islam tidak akan lengkap bila kita tidak mengetahui hukum-hukumnya. Melalui hukumlah aturan yang berasal dari nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan. Dalam Islam ada dua macam: hukum taklifi dan hukum wadh’I.

Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan. Sebagai contoh: hukum yang menyangkut perintah seperti shalat, membayar zakat dll.

Hukum wadh’I adalah hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang. Sebagai contoh: hukum waris.

II. Tujuan Hukum Syariah

Tujuan hukum syariah ada tiga macam, yaitu:
1. Pensucian jiwa, menjadikan muslim penyebar kebaikan bukan penyebab keburukan.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat baik dengan sesama muslim maupun non muslim.
3. Bermanfaat bagi seluruh alam semesta tidak hanya manusia.

III. Sumber Hukum

Sumber hukum dalam Islam ada lima, yaitu:

1. Al Qur’an
2. As Sunnah
3. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.
4. Fatwa sahabat
5. Qiyas

IV. Pembagian Hukum Taklifi

Berdasarkan jumhur ulama (pendapat mayoritas ulama), hukum terbagi menjadi lima macam, yaitu:

1. Wajib yaitu suatu perintah yang apabila tidak dilaksanakan berdosa. Wajib terbagi menjadi dua macam:

a. Wajib yang memiliki waktu yang luas disebut wajib muwassa. Keluasaan waktu itu memungkinkan kita untuk melaksanakan ibadah yang lain.
b. Wajib memiliki waktu yang terbatas disebut wajib mudhayyaq. Ibadah itu hanya dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan dan tak dapat dilakukan diluar waktu tersebut. sebagai contoh puasa di bulan Ramadhan, ibadah haji di bulan Dzulhijah.

2. Sunnah yaitu perbuatan yang apabila dilaksanakan berpahala dan bila tidak dilaksanakan ia akan merugi walaupun tidak berdosa. Sunnah terbagi menjadi tiga macam:

a. Sunnah Muakkad, yaitu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, contoh shalat dua rakaat setelah shubuh.
b. Sunnah Ghairu Muakkad, yaitu sunnah yang dilakukan tidak secara kontinyu, contoh: shalat empat rakaat sebelum zhuhur.
c. Sunnah di bawah keduanya, yaitu kebiasaan yang dilakukan Rasulullah SAW seperti bersiwak (sikat gigi).

3. Mubah yaitu kebebasan bagi muslim untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau meninggalkannya. Contoh makan, minum, dsb.

4. Makruh yaitu suatu larangan secara syara terhadap suatu perbuatan namun tidak bersifat pasti karena tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut, meninggalkan perbuatan tersebut terpuji dan mengerjakannya tercela.

5. Haram yaitu larangan untuk melakukan suatu pekerjaan baik yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i dan zhonni.

Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bila ditinggalkan perbuatan itu pelakunya akan mendapat pahala dan bila dilaksanakan berdosa. Haram ada dua macam, yaitu:

a. Haram li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh makan bangkai, minum khamr, berzina, dll.
b. Haram li-ghairi/aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syariat dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzatihi. Sebagai contoh jual beli memakai riba, melihat aurat wanita, dll.

Aqidah Islamiyyah

Makna Aqidah

• Secara bahasa: ‘Aqdun – ‘Aqooid berarti akad atau ikatan. Ikatan yang mengikat manusia dengan aturan-aturan Allah dan nilai-nilai Islam.
• Secara istilah: aqidah ialah sesuatu yang wajib diyakini atau diimani tanpa keraguan

Hubungan Aqidah Islam dengan keimanan kepada Allah [ 4:136; 21:25; 16:35].

Aqidah merupakan misi da’wah yang dibawa oleh Rasul Allah yang pertama sampai dengan yang terakhir yang tidak berubah-ubah karena pergantian zaman dan tempat, atau karena perbedaan golongan atau masyarakat [42:13]. (Aqidah Islam, Sayid Sabiq, hal.18)

Hati merupakan standar penilaian aqidah [26:88-89], “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa atau bentuk kamu, tidak juga kepada jasadmu, tetapi Ia melihat kcpada hati dan perbuatanmu” (Hadits). Memahami aqidah dimulai dari tauhid [112:1-4].

Tauhid berasal dari kata wahhada yang berarti menjadikan satu.

Jenis tauhid:
• Tauhid Uluhiyah (mengesakan Allah sebagai satu-satunya sesembahan/ ilah) .
• Tauhid Rububiyah (mengesakan Allah sebagai satu-satunya Rabb) .
• Tauhid asma dan sifat Allah (Allah memiliki nama sifat yang tidak dimiliki oleh selain Nya) :

Al Iman

Konsep-konsep tentang Iman, Islam dan Ihsan mungkin sudah pernah kita pelajari. Namun ternyata gambaran yang kita miliki selama ini belum cukup valid (shohih) dan integral (syamiil), karena kita melihat Iman, Islam dan Ihsan secara sektoral dan terpisah satu sama lain.

Padahal ketiga konsep tersebut adalah merupakan satu bangunan yang dapat disebut sebagai RUMAH KITA, yang secara global terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :

1. RUKUN IMAN, yang berfungsi sebagai lapisan fondasinya.
2. RUKUN ISLAM, yang berfungsi sebagai tiang penyangganya.
3. IHSAN, yang berfungsi sebagai atapnya.

Artinya: tegaknya Islam pada diri seseorang tergantung pada kualitas pondasinya dan daya tahan Islam pada diri seseorang tergantung pada kualitas atapnya. Jadi satu sama lain saling membantu, menguatkan dan memelihara.

Hakikat Iman
Pengertian Iman menurut ahlussunah : Iman terdiri dari tiga unsur, yaitu pembenaran dengan hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Jadi, Iman adalah keyakinan dan sekaligus juga amal [49:15].

Rukun Iman
Rukun Iman merupakan basis konsepsional atau landasan idiil yang mendasari pemikiran, ucapan dan tindakan seorang muslim. Artinya: seorang muslim yang beriman maka pemikiran, ucapan dan tindakannya tidak akan bertentangan dengan keimanannya kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Taqdir dan Kiamat. Orang yang beriman haruslah beriman kepada enam Rukun iman (2:285, 4:136) dan Hadits Ketika Nabi ditanya Malaikat Jibril tentang iman, maka jawab Nabi. ”Hendaklah engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitabNya, kepada Utusan-utusanNya, kepada Hari Kiamat dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar yang baik dan yang buruk” (HR Muslim), barangsiapa yang mengingkari salah satunya maka ia telah mengingkari seluruh Rukun Iman.

1. Iman kepada Allah SWT . Konsekuensinya : mencintai Allah SWT [2:165]. Tanda-tandanya: lihat QS 8:2. Akibatnya: ikh1ash dalam menjalankan perintah-perintahNya.
2. Iman kepada Malaikat [50:16-18]. Konsekuensinya: tidak mungkin Seorang mu’min berbuat ma’siat karena selalu ditongkrongi Malaikat.
3. Iman kepada Kitab-Kitab [2:2, 20:1-3] Konsekuensinya: menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
4. Iman kepada Nabi dan Rasul [33:40]. Konsekuensinya: mencintai dan mengikutinya [3:31-32].
5. Iman kepada Hari Akhir [3:185]. Konsekuensinya: mempersiapkan diri untuk menghadapiNya.
6. Iman kepada Takdir [22:7]. Konsekuensinya: berprinsip bahwa “Janganlah kita mempersoalkan apa-apa yang Allah ingin lakukan terhadap kita, tetapi kita harus melakukan apa-apa yang Allah ingin dari kita.”

Al Qur'an

Definisi Al-Qur’an

• Secara bahasa berarti “bacaan”.
• Secara istilah berarti “Kalam Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW dan membacanya merupakan ibadah”

Nama-nama Al-Qur’an
• Al-Qur’an/ Bacaan [17:9] .
• Al-Kitab/ Buku [21:10].
• Al-Furqon/ Pembeda [25:1]
• Adz-Dzikr/ Pengingat [15:9].
• An-Nur/ Cahaya [4:174]

Mu’min yang berinteraksi secara baik dengan Al Qur’an akan mendapat posisi yang baik di sisi Allah. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda “Perumpamaan mu’min yang membaca Al Qur’an ibarat buah utrujah (sejenis limau), baunya harum dan rasanya lezat. Orang mu’min yang tidak membaca Al Quran ibarat buah kurma, tidak berbau tapi manis rasanya. Orang munafik yang membaca Al Qur’an ibarat buah raihanah, baunya sedap dan rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an ibarat buah petola, tidak berbau dan rasanya pahit”. (HR. Bukhari, Muslim).
Dalam lintasan sejarah, terukir prestasi gemilang yang dicapai oleh jiwa-jiwa Qur’ani yang dimiliki para sahabat (generasi pertama). Sebagai contoh Abdullah bin Ummi Maktum dengan keterbatasan penglihatan karena buta namun ia mampu berjihad dan komitmen terhadap shalat jama’ah. Amr bin Al Jumuh walaupun kakinya pincang semangat jihadnya yang tinggi ditampilkan dalam perang Uhud.
Utsman bin Affan dengan semangat kedermawanan yang tinggi dan masih banyak lagi.
Itulah Al Qur’an tadabburnya mampu memberi kekuatan kepada orang yang lemah, mengingatkan pada orang yang lupa, memberi semangat pada orang yang malas dan memberi inspirasi kepada orang yang ingin maju hidupnya.
Untuk dapat menghasilkan tadabbur yang benar, seorang mu’min membutuhkan 5 syarat yaitu sebagai berikut:
1. Memiliki aqidah yang benar (shahihul Aqidah)
2. Bersih hati (salamatul qolb)
3. Memahami bahasa arab
4. Memahami Tafsir bil Ma’tsur
5. Memiliki komitmen yang kuat terhadap ajaran Islam

Nama-nama Al Qur’an
Al Qur’an memiliki nama-nama lain antara lain:
1. Al kitab (Kitab), QS. Al Baqarah (2) : 2
2. Al Huda (Petunjuk), QS. Al Baqarah (2) : 2, 185
3. Al Furqan (Pembeda), QS. Al Furqaan (25) : 1
4. Ar Rahmah (Rahmat), QS. Al Israa’ (17) : 82
5. Asy Syifa (Obat), QS. Yunus (10) : 67
6. Ruh, QS. Al Mu’min (40) : 15
7. Al Haq (Kebenaran), QS. Al Baqarah (2) : 147
8. Al Bayan (Penerang), QS. Ali Imron (3) : 138
9. Al Mauidzoh (Pengajaran), QS. Al Qamar (54) : 17
10. Adz Dzikru (Peringatan ), QS. Al Hijr (15) : 9
11. Busyro (Berita Gembira), QS. An Nahl (16) : 89

Kedudukan Al Qur’an
1. Kitabul Naba wal akhbar (Berita dan Kabar), QS. An Naba’ (78) : 1-2
2. Kitabul Hukmi wa syariat (Kitab Hukum Syariah),
QS. Al Maidah (5) : 49-50
3. Kitabul Jihad, QS. Al Ankabut (29) : 69
4. Kitabul Tarbiyah, QS. Ali Imran (3) : 79
5. Minhajul Hayah (Pedoman Hidup), QS. Al Qashash (28) : 50
6. Kitabul Ilmi, QS. Al Alaq (96) : 1-5

Tuntutan Iman kepada Al Qur’an
1. Al Unsubihi (akrab dengan Al Qur’an) melalui dua cara, yaitu mempelajarinya (ta’alumuhu), mengajarkannya (taklimuhi)
Agar dapat akrab dengan Al Qur’an, hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Membacanya (tilawah)
Ada sepuluh amalan dalam tilawah, antara lain:
• Memahami keagungan dan ketinggian firman Allah
• Mengagungkan Allah
• Kehadiran hati (khusyu’)
• Tadabbur
• Tafahum (memahami secara mendalam)
• Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman Takhshish (menyadari bahwa diri merupakan sasaran yang dituju Al Qur’an)
• Taatsur (mengimbas ke dalam hati)
• Taraqqi (meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mengajarkan kalam dari Allah)
• Tabarriy (memandang kepada dirinya dengan pandangan ridha
dan tazkiyah)
b. Fahman (Memahami dan mentadabburi isinya), QS. Muhammad (47) : 24
c. Tatbiqon (mengamalkan)
d. Hafidzon (menghapal dan memeliharanya)
2. Tarbiyatu Nafsi Bihi (Mentarbiyah diri dengan Al Qur’an),
QS. Ali Imran (3) : 39
3. Taslim Wa Ahkamihi (Menerima dan tunduk kepada hukum),
QS. Al Ahzab (33) : 36
4. Da’watu ilallah (Menyeru orang kepada-Nya),
QS. An Nahl (16) : 125
5. Iqomatuhu Fil Ardhi (Menegakkan Al Qur’an di muka bumi),
QS. Asy Syuura (42):13

Akhlaq Terpuji Terhadap Al Qur’an
1. Membaca Ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an,
QS. An Nahl (16) : 98
2. Membaca Al Qur’an secara tartil/perlahan-lahan,
QS. Al Muzzammil (73) : 4
3. Lapang dada menerima Al Qur’an, QS. Al A’raf (7) : 2
4. Mendengarkan baik-baik bacaan Al qur’an, QS. Al Anfal (8) : 2-4

Akhlaq Tercela Terhadap Al Qur’an
Mentertawakan peringatan (tidak mengindahkan) Al Qur’an,
QS. Adh Dhuhaa (93) : 59-62

Bahaya Melupakan Al Qur’an
1. Kesesatan yang nyata, QS. An Nisa (4) : 60
2. Sempit dada, QS. Al An’am (6) : 125
3. Kehidupan yang serba sulit, QS. Thaahaa (20) : 124
4. Mata hati yang buta, QS. Al Hajj (22) : 46
5. Hati menjadi keras, QS. Al Hadiid (57) : 16
6. Zalim dan hina, QS. As Sajdah (32) : 22
7. Bersahabat dengan syaithan, QS. Az Zukhruf (43) : 36
8. Lupa pada diri sendiri, QS. Al Hasyr (59) : 19
9. Fasiq, QS. Ar Ra’d (13) : 19-20
10. Nifaq, QS. An Nur (24) : 49-50

Syarat agar dapat mengambil manfaat dari Al Qur’an
1. Bersikap sopan (niat yang baik, hati dan jasad bersih)
2. Baik dalam talaqqi (membaca Al Qur’an secara tertib)
3. Berorientasi kepada tujuan yang asasi dari Al Qur’an
4. Mengikuti cara interaksi sahabat dengan Al Qur’an

http://materitarbiyah.wordpress.com

Ukhuwah Islamiyah

Makna Ukhuwah Islamiyah.

• Menurut Imam Hasan Al-Banna: Ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidah.

Hakekat Ukhuwah Islamiyah
1. Nikmat Allah (QS. 3: 103)
2. Perumpamaan tali tasbih (QS. 43: 67)
3. Merupakan arahan Rabbani (QS. 8: 63)
4. Merupakan cermin kekuatan iman (QS. 49: 10)

Perbedaan Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Jahiliyah
• Ukhuwah Islamiyah bersifat abadi dan universal karena berdasarkan aqidah dan syariat Islam. Ukhuwah Jahiliyah bersifat temporer (terbatas pada waktu dan tempat), yaitu ikatan selain ikatan aqidah (misal: ikatan keturunan [orang tua-anak], perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan pribadi).